Haidar Bagir
Kata-kata ini
adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya
ke atap ia sampai
Bukan langit
biru atap itu
Tapi atap di
balik segala langit dunia
~ Sultan Walad, putra Jalaluddin Rumi
LALU, inilah penjelasan saya,
sebisa-bisanya. (Disclaimer: tulisan ini dibuat terutama dari sudut pandang
pemikiran Islam dan bukan sastra, yang memang sama sekali bukan merupakan
bidang kajian Penulis. Oleh karena itu, hendaknya ia juga dilihat dan
ditempatkan dalam posisi itu: sebuah pembahasan tentang sastra dan imajinasi,
terutama dari sudut pandang pemikiran Islam. Hanya dengan cara itu, dan bukan
dengan melihatnya lewat kacamata kritis sastra, tulisan ini bisa diharapkan
memberikan sedikit sumbangan kepada wacana mengenai sastra dan spiritualitas
Islam).
ALAM IMAJINAL
Dalam khazanah spiritualitas Islam
(sufisme, irfan, isyraqiyah, atau hikmah), biasanya diterima adanya tiga
tingkat pemikiran manusia. Tingkat rasional, logis, itulah yang pertama. Adapun
yang kedua adalah yang bersifat spiritual, rohaniah. Yang ini terkait dengan
perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Dan, di antara keduanya
ada imajinasi.
Yang bersifat rasional-logis biasanya
disampaikan lewat bahasa yang mengandalkan pada tata bahasa (grammar) yang
teratur dan urut-urutan logis. Yang spiritual, kata sebagian orang-termasuk
Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam-tak bisa diungkapkan secara
rasional. Tetapi, beberapa sufi tertentu mencoba mengungkapkannya. Termasuk di
dalamnya yang amat terkenal dan produktif dalam mengungkapkan perasaan-perasaan
keagamaannya adalah Ibn ’Arabi.
Sekelompok filosof-mereka biasa disebut
sebagai para iluminis (isyraqi) dan ahli hikmah, dengan Suhrawardi dan Mulla
Shadra sebagai tokoh-tokohnya-justru percaya bahwa perasaan- perasaan keagamaan
sebagai sumber kebenaran bukan hanya bisa, melainkan harus diungkapkan dengan
bahasa-bahasa rasional yang logis itu, yakni agar perasaan-perasaan yang telah
melewati-tepatnya dilewatkan kepada-rasio dan logika itu bisa dikontrol: apakah
ia benar-benar berdasar pada realitas, ataukah sekadar khayalan yang tidak
benar, tidak obyektif, bahkan mungkin sesat. Dengan diungkapkan secara rasional
dan logis, perasaan-perasaan itu bisa diverifikasi. Mengingat, pertama,
verifikasi hanya bisa dilakukan-selain berdasar prinsip korespondensi
(eksperimental)-dengan berdasar prinsip koherensi (rasional-logis).
Kedua, sebuah pemikiran, yang diperoleh
pada tingkatan apa pun, tak boleh bertentangan dengan perolehan lewat
tingkatan-tingkatan pemikiran yang lainnya, baik yang bersifat imajinatif
maupun rasional-logis. Ketiga, dengan memverifikasinya secara rasional-logis,
maka sebuah hasil pemikiran telah dilempar ke “pasar bebas” dan dengan demikian
bisa didiskusikan, diperdebatkan, dan disepakati nilainya.
Kembali kepada pemikiran imajinatif,
wadah bagi realitas-realitas jenis ini disebut sebagai alam imitasi (’alam
al-mitsal), tempat bagi simbol dan tipifikasi. Ia disebut juga alam
barzakh-biasa diterjemahkan sebagai alam imajinal untuk membedakannya dari alam
imajiner yang sudah telanjur berkonotasi negatif. Ya, alam barzakh. Suatu alam
di antara dua alam: alam rohani dan alam dunia. Dia menyatakan alam kubur, alam
imajinal, dan alam mimpi. Menurut pemikiran seperti ini, sesungguhnya
ketiga-tiga alam itu menunjukkan realitas yang sama.
Secara agak filosofis, inilah deskripsi
ketiga tingkatan itu: Alam Dunia bersifat wadak (memiliki dimensi ruang-waktu)
dan memiliki sifat keterbagian secara aritmatis. Dengan demikian, segala
entitas di alam ini bisa disifati sebagai memiliki kebergandaan, 1, 2, 3, dan
seterusnya. Pemikiran rasional-logis terkait dengan alam ini alam barzakh,
meskipun masih memiliki sifat keterbagian-aritmatis dan untuk operasinya juga
masih membutuhkan wadak dari alam dunia, ia sendiri sudah tak bersifat wadak.
Selain itu, alam perantara ini belum sampai ke alam roh, tetapi sudah
meninggalkan alam dunia empiris-rasional. Seperti diungkapkan filosof
eksistensialis Perancis yang ahli aliran wujudiyah dan iluminisme dalam Islam,
Henry Corbin, alam barzakh atau alam imitasi ini adalah alam wadak yang
terspiritualisasikan, atau bisa juga ia dikatakan alam roh (spirit) yang
terwadakkan. Adapun alam rohani tak berwadak, tak terbagi-bagi (simple atau
basith).
Karena sifatnya yang sudah tak lagi
mewadak, maka bukan saja kategori rasional-logis sudah tak sepenuhnya berlaku,
gambaran-gambaran yang dipakainya pun tak harus sama dan sebanding dengan
citra-citra (bendawi) alam dunia. Inilah yang menyebabkannya disebut khayalan.
Metafor-metafor pun menjadi dominan di sini. Maka, jadilah ekspresi pemikiran
imajinatif-sebagaimana tertuang dalam seni, termasuk sastra-tampak tak
beraturan, tak runtut, dan menabrak kategori-kategori ruang dan waktu yang
lazim dalam pemikiran rasional.
Orang-orang yang daya imajinasinya
kuat, seperti para seniman (termasuk para pemikir tertentu, para spiritualis)
bisa mengoperasikan daya khayalnya dalam keadaan jaga. Sedangkan yang daya
imajinasinya tak terlalu kuat, mengalami dunia barzakh ini hanya ketika
bermimpi-yang bukan sekadar bunga tidur, atau perasaan tertekan, atau sekadar
luapan pengalaman dunia nyata-atau nanti di alam kubur. (Ibn ’Arabi, seorang
hakim-teosof, kombinasi filosof dan sufi-menyatakan, kehidupan kita di alam
kubur nanti adalah seperti di alam mimpi. Disiksa kubur adalah sama dengan
mendapat mimpi buruk, nightmare. Dan sebaliknya.
DAYA IMAJINASI
Apa itu daya imajinasi? Dalam khazanah
filsafat Islam-peripatetik, yang mengandalkan prosedur rasional-logis di atas
yang lainnya-daya imajinasi dipahami sebagai salah satu fakultas dalam jiwa
manusia yang memiliki akses kepada alam imajinal. Ia adalah bagian dari indera
dalam manusia yang, berbeda dengan pandangan spiritualitas Islam, ditempatkan
di bawah pemikiran rasional.
Bukan hanya dalam hal hierarki, para
filosof Muslim percaya bahwa daya imajinasi harus ditempatkan di bawah kendali
daya rasional. Jika dilepaskan dari daya rasional, daya imajinasi berisiko
kehilangan kendali dan sekaligus kehilangan akses kepada realitas otentik yang
ada di alam imajinal.
Ya, karena dalam Islam, tak terkecuali
dalam filsafat Islam, puisi-atau karya sastra pada umumnya-yang banyak
mengandalkan daya ini, memiliki misi etis. Apalagi karena sifatnya yang
imajinatif, puisi-atau karya sastra dan seni pada umumnya-memiliki kemampuan
menggerakkan lebih banyak orang ketimbang kebenaran rasional yang umumnya
memiliki appeal hanya kepada lebih sedikit orang. Maka, sifat etisnya harus
bisa dijamin. Jika tidak, risikonya untuk menimbulkan kerugian menjadi lebih
besar.
Dalam filsafat Islam, daya rasional
mencakup dua ranah, yang berhubungan satu sama lain. Ranah teoretis dan ranah
etis. Ranah teoretis melihat ke atas untuk mencerap natur-natur,
kuiditas-kuiditas (”keapaan-keapaan”), atau esensi-esensi segala sesuatu, yakni
aspek-aspek universal alam semesta, yang simpel dan kekal. Ranah daya rasional
praktis, sebaliknya, melihat ke bawah demi memampukan pemiliknya untuk
mengelola urusan-urusan duniawi secara etis.
Betapapun, daya rasional praktis
bekerja berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dicerap oleh daya
rasional teoretis, apakah itu gagasan tentang keadilan, keseimbangan, moderasi,
kebaikan, kebenaran, dan sebagainya. Pada gilirannya, daya rasional teoretis,
yang juga beroperasi berdasar pengalaman dan kebiasaan, bekerja berdasar daya
rasional etis. Ya, ilham puitik-menurut para filosof ini-mesti dikendalikan
oleh daya rasio, tetapi pada saat yang sama ia juga mesti dipandu oleh misi
etis.
Meskipun demikian, hal ini tak berarti
bahwa sifat sastrawi atau puitik dari sebuah karya boleh diperkosa karena misi
etis ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Sina dan Ibn Rushd, misi etis ini harus
dipandang sebagai lebih merupakan akibat ketimbang unsur esensialnya.
Pernyataan terakhir ini kiranya
mendekatkan posisi filsafat Islam dengan sufisme. Mengingat bahwa sufisme
justru cenderung melihat bahasa (yang terstruktur secara logis) cenderung
lumpuh ketika berhadapan dengan kedahsyatan-kedahsyatan pengalaman keagamaan.
Seperti akan kita dapati dalam
pembahasan setelah ini, umumnya kaum Sufi percaya bahwa ilham-ilham mistikal
mereka-demikian pula puisi-puisi mereka, yang sesungguhnya tak lebih dari wadah
bagi pengalaman-pengalaman mistikal itu-berasal dari dunia yang lebih tinggi,
alam rohani.
Maka, membiarkan pemikiran
rasional-logis menghakimi pemikiran rohaniah yang lebih tinggi tingkatannya
adalah sesuatu yang tak bisa diterima. Adalah isyraqiyah dan hikmah yang,
seperti telah disinggung di atas, kemudian menyintesiskannya dengan memberikan
wewenang kepada daya rasional-logis untuk memverikasi pengalaman-pengalaman
keagamaan ini.
Kenyataannya, seniman bekerja
berdasarkan pasokan bahan dari dunia imajinasi ini. Nah, dipercayai bahwa ilham
yang dibiarkan begitu saja tanpa di-”kontrol” oleh pemikiran rasional-atau
perasaan-perasaan spiritual-inilah yang dapat mengambil bentuk ungkapan yang
aneh-aneh dan sering tidak nyambung dengan pemikiran rasional.
Hampir-hampir seperti meracau alias ngomyang-bisa mengandung realitas (kebenaran),
bisa juga benar-benar ngomyang, dalam arti merupakan penyelewengan dalam
mekanisme beroperasinya pemikiran. (Dalam khazanah pemikiran Islam, dipercayai
bahwa sumber ilham yang benar adalah dari malaikat, sedangkan yang tak
otentik-secara populer disebut waham-adalah “setan” atau suatu dunia khayalan
yang terbentuk karena penyelewengan dalam operasi berpikir/berkhayal. Sebab,
seperti disebutkan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, adalah terutama
dalam keadaan tidur imajinasi terbebaskan dari pembatasan-pembatasan oleh daya
rasional.
Dalam keadaan jaga, penyakit, rasa
takut, kegilaan, dan sebagainya juga dapat membebaskan daya khayal dari
pembatasan-pembatasan oleh daya rasional. Sebelum ada yang terkejut, perlu saya
sampaikan bahwa agama mengajarkan: siapa saja di antara kita, kapan saja-dan
itu berarti bukan hanya penyair, dan tak mesti berhubungan dengan persoalan
pencarian kebenaran seperti ini-selalu berisiko berada dalam pengaruh setan
ini.
Bisa jadi juga, ketaklogisan-yang
terkadang bisa amat liar dan jauh lebih susah dipahami-adalah karena wadah
orang yang menerima ilham itu tak cukup besar untuk menampungnya. Dengan
demikian, ilham itu meluap-luap ke sana kemari tanpa terkontrol. Dalam sufisme,
yang akan kita bahas lebih jauh setelah ini, hal ini mengambil bentuk syathahat
atau ujaran-ujaran ekskatik, yang muncul tiba-tiba dalam keadaan subyeknya
mengalami ekstasi atau trance secara spiritual.
SASTRA DAN DAYA
IMAJINASI
Kalau dilihat dari bentuknya, puisi
jelas merupakan bentuk yang lebih polos ketimbang prosa karena puisi lebih
bersahaja dan apa adanya dalam mengungkapkan ilham kepenyairan, melalui kalimat
lebih pendek-pendek yang efisien, dan lebih tak merasa perlu untuk melakukan
penjelasan logis sebagaimana prosa. Meskipun demikian, ada juga prosa yang
relatif lebih liar. Karya-karya Salman Rushdie adalah contoh yang baik mengenai
bentuk ini.
Memang, bagi yang tidak percaya pada
karya imajinatif yang terus terang dan apa adanya, atau yang percaya bahwa
imajinasi cenderung menghasilkan penyelewengan pemikiran, bisa juga daya khayal
disalurkan kepada karya-karya seni yang sober (”waras”, tidak “mabuk”). Dalam
arti, sejalan dengan pakem-pakem rasional, mungkin juga filosofis dan religius,
sebagaimana diajarkan oleh tradisi agama (kitab suci, sabda nabi, dan orang
suci yang reliable, dan sebagainya).
Meski mungkin dipercayai bahwa nilai
seninya bisa berkurang-bahkan juga boleh jadi kandungan keotentikannya tereduksi-hasilnya
bisa lebih terkendali, lebih terpahamkan oleh orang banyak, dan kemungkinan
penyelewengannya lebih kecil. Inilah sikap yang, saya kira, diambil oleh
umumnya para seniman klasik, atau seniman religius, atau bahkan seniman modern
tertentu yang memujikan sobriety.
Kisah-hidup Sutarji sebagai
penyair-sesungguhnya juga beberapa penyair Indonesia lainnya-saya kira bisa
menjadi ilustrasi yang menarik. Pernah ada masa ketika ia dikenal sebagai
“penyair bir.” Inilah barangkali fase dalam hidupnya ketika dia mengandalkan
pada daya khayal apa adanya. Dan memang, mood inducing drugs or substance
tertentu-obat bius, LSD (dulu), anggur, termasuk bir-dipercayai bisa membantu
orang untuk “naik” ke alam imajinal ini.
Sebagian filosof dan penyair masa
lampau konon juga mengandalkan sebatas-terkendali penggunaan mood inducing
substance ini, seperti Ibn Sina. Ibn Sina memang juga dikenal dengan
karya-karya puitik serta prosa liris yang, oleh Henry Corbin, disebut sebagai
resital-resital visioner. Mungkin juga penyair-penyair tertentu, seperti Omar
Khayam yang didakwa bukan hanya sekadar menggunakan ungkapan-ungkapan “anggur”
sebagai simbolisme, melainkan benar-benar minum anggur.
Hal ini barangkali juga terkait erat
dengan pandangan sebagian filosof tersebut di atas yang mengaitkan pelepasan
daya khayal dari berbagai pembatasan-pembatasan yang mengikatnya dalam keadaan
rileks (flow state), seperti dalam tidur atau dalam keadaan-keadaan ekstrem
tertentu seperti disebut sebelumnya.
Keadaan “naik” (fly, yang tak mesti
sampai ke tingkat benar-benar mabuk) barangkali juga dipercayai sebagai
termasuk salah satu di antaranya. (Perlu sambil lalu saya sampaikan di sini
pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya, para pemikir dan penyair yang
memang menggunakan sejenis mood inducing substances, memang berpendapat bahwa
sejenis minuman tertentu seperti ini memang diperbolehkan oleh agama. Dalam
tradisi awal Islam, diriwayatkan bahwa sebagian kaum Muslim biasa meminum
setakar nabidz-kurma fermentasi, dicampur air-meski dalam jumlah banyak minuman
ini bisa memabukkan. Wallahualam. Mazhab Hanafi, yang banyak dianut antara lain
di Turki, kabarnya termasuk yang menoleransinya).
Belakangan, kembali pada Sutarji,
tampaknya dia lebih memilih untuk “mengendalikan” ilham-ilhamnya dengan perasaan
religius, kalau malah bukan dengan daya rasionalnya. Atau, barangkali, ia hanya
merasa bahwa ilham tak mesti dipancingnya dengan kemabukan akibat bir, yang
diketahui banyak mudaratnya. Yang pasti, belakangan Sutarji meninggalkan ritual
minum untuk kegiatan-kegiatan puitiknya.
SASTRA DAN
SUFISME
Dalam sufisme, puisi lebih sering lahir
dari kecintaan (’isyq) yang meluap-luap kepada Tuhan. Cinta platonik.
Akibatnya, di Turki, puisi-puisi seperti ini disebut kesusastraan ’asyiq
(pencinta). Dalam kesusastraan sufi-Arab, cinta platonik seperti ini disebut
sebagai cinta ’Udzri. Ia merujuk kepada sebuah suku Arab bernama Banu ’Udzrah
di Wadi al-Qura, Hijaz Utara.
Dikisahkan bahwa pada di suatu masa, di
tempat itu ada 30 anak muda yang berada di tepi kematian akibat cinta platonik
yang tak terpuaskan. Melakukan perzinaan yang dikutuk tak terpikirkan oleh
mereka karena dipercayai Islam telah memurnikan jiwa-jiwa mereka. Jadilah ia
perlambang ketulusan cinta kepada Sang Ma’syuq (Pencinta), Tuhan. Puisi-puisi yang
bermuatan cinta ’Udzri ini menonjol pada
Rabi’ah al-’Adawiyah, tetapi juga pada
’Aisyah, putra Imam Ja’far al-Shadiq.
Yang terakhir ini barangkali ada
hubungannya dengan kenyataan bahwa ungkapan-ungkapan cinta seperti ini banyak
datang dari kakeknya, ’Ali bin Abi Thalib, sahabat Nabi Muhammad SAW yang
dipercayai sebagai guru banyak sufi awal. Pada penyair sufi laki-laki hal ini
termanifestasikan dalam puisi-puisi Ibn ’Arabi, Rumi, Hafiz, Sa’di, Shabistari,
Sana’i, Jami’, dan banyak lagi. Yang berikut ini adalah salah satu contoh dari
’Ath-thar.
Termangsa
cahaya kehadiran Simurgh
Ku sadar
jadinya
Tak lagi tahu
apakah aku Kau atau Kau aku
Ku t’lah sirna
ke dalam-Mu
Maka pupus
jugalah kebergandaan….
Nah,
selanjutnya saya duga kita akan terkejut ketika mendapati bahwa di antara puisi
religius yang lebih “liar” justru keluar dari seseorang yang dianggap seprofan
Ayatullah Khomeini. Inilah sekadar cuplikan ungkapan-ungkapan puitik sang
pemimpin besar Revolusi Islam di tanah Persia:
Wahai kudamba
hari itu
Saat piala
(anggur) pengocok jiwa
Kuterima dari
tangan-lembutnya
Dan, dalam lupa
dua dunia
Terantai di
helai-helai rambutnya
Wahai kudamba
hari itu
Saat kepalaku
di tapak-kakinya
Ciuminya hingga
hidup usai saja
Dan jadilah aku
hingga kiamat tiba
Mabuk dari gelasnya.
(Dari Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini,
karya Yamani, Mizan, bandung, 2001)
Khomeini, betapa pun enigmatic-nya
pribadi ini bagi banyak orang, sesungguhnya hanyalah berada dalam garis tradisi
para sufi-penyair Persia pendahulunya. Bahkan, meski juga “murid” dari Shadra,
sang filosof hikmah yang tak kurang rasional, ia adalah pengikut mazhab
Akbarian (Ibn ’Arabi) yang cukup setia.
Steven Katz, dengan tulisannya yang
berjudul Language, Epistemology, and Mysticism (dalam buku yang disuntingnya
sendiri, Mysticism and Philosophical Analysis, New York 197 boleh saja menyatakan “adanya koneksi
kausal yang amat jelas antara yang bersifat keagamaan dan pengalaman atas
struktur sosial dan sifat pengalaman-aktualnya”, yang berarti bahwa ungkapan
pengalaman keagamaan banyak dibentuk oleh bahasa (yang telah diterima sebagai
suatu kesepakatan sosial).
Akan tetapi, hal ini dipersoalkan oleh
Carl W Ernst, seorang peneliti sufisme, yang antara lain menulis tentang
ujaran-ujaran ekskatik dalam aliran ini. Tanpa membantah kemungkinan adanya
pengaruh bahasa seperti ini, ia menyepakati pendapat para sufi sendiri yang
menyatakan bahwa sumber-utama bahasa mereka justru bersumber dari pengalaman
religius, dan bukan sebaliknya.
Qusyairi, salah seorang penulis buku
standar tentang tasawuf, dalam salah satu perbincangannya tentang terminologi
sufi menunjukkan bahwa keadaan-keadaan mistikal bukanlah merupakan hasil dari
upaya, melainkan barakah (grace) dari Tuhan. “Kata-kata (yang dipakai oleh para
sufi) itu,” kata Ruzbihan Baqli, seorang sufi penyusun kamus terminologi
sufisme, “mengikat rumus dari khazanah-khazanah kesubtilan-kesubtilan amar
Ilahi.” (Di tempat lain Ruzbihan mendefinisikan rumus ini sebagai makna yang
tersembunyi di bawah kalam-lahiriah). “(Kata-kata itu bersumber dari) tempat
pemberhentian rahasia-rahasia keadaan-keadaan mistikal (ahwal), permakluman
amar-amar itu, kerinduan-kerinduan ma’rifat, dan pancaran cahaya penyibakan
(kasyf)… yang diungkap dari penyibakan manifestasi kekekalan, kalam yang abadi,
tindakan-tindakan unik (ketuhanan), dan realitas-realitas manifestasi
sifat-sifat-Nya.
Orang-orang yang telah mereguk
“minuman-minuman rohani” dalam kesubtilan yang unik dan memesonakan dari dunia
yang tersembunyi, pun menjadi master-master atas keadaan sesaat (waqt) mereka,
dan mereka pun mengungkapkan isyarat-isyarat kemanisan melalui kata-kata. Dalam
pernyataan Ibn ’Arabi, kata (harf) adalah “ungkapan yang dengannya Tuhan
berkomunikasi denganmu.”Dengan kata lain, bukan hanya para sufi
seperti menyangkal bahwa ilham datang dari alam imajinal-jika ia dipercayai
sebagai berada di bawah tingkat alam rasional, seperti yang dipahami para
filosof-mereka boleh jadi tak percaya pada keperluan untuk membatasinya dengan
daya rasional.
Satu-satunya pembatasan bagi para sufi
muncul oleh keperluan mempertimbangkan konteks pengajaran ilham-ilham itu
kepada para murid sufisme yang belum mencapai suatu tingkat yang memampukan
mereka untuk mencerap ilham-ilham itu dalam segenap ke-”penuh”-annya. Itu
sebabnya para sufi terkadang terpaksa menyederhanakan, di waktu lain
menyembunyikan (meng-encrypt), ilham-ilham yang mereka peroleh dari
pengalaman-mistikal mereka lewat bahasa-bahasa yang sesuai.
Meskipun demikian, sufisme pun bukannya
tidak mengenal latihan-latihan dalam hal perolehan ilham-ilham mistikalnya.
Selain untuk memastikan bahwa ilham-ilham itu otentik, sekaligus meningkatkan
daya spiritual, boleh jadi juga latihan-latihan ini diperlukan untuk
mempersiapkan wadah yang cukup bagi terpaan ilham yang datang agar tidak
meluap-luap ke sana kemari dan melahirkan ungkapan-ungkapan ekskatik yang
kontroversial.
Dengan cara inilah para sufi
menjalankan fungsinya sebagai guru bagi para murid-baru sufisme, yang harus
merancang bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Latihan ini
mengambil bentuk ketaatan kepada aturan perjalanan spiritual (suluk), termasuk
pembagiannya ke dalam stasiun-stasiun (maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal).
PENUTUP
Akhirnya, ingin saya tutup refleksi
saya ini dengan menukil beberapa ayat Al Quran-yang seperti disebutkan para
peneliti, menempati posisi sentral dalam kesusastraan spiritual ini-tentang
para penyair. Meski, sampai batas tertentu, konteksnya khas terhadap masa
ayat-ayat ini turun, barangkali nukilan ini bisa melengkapi refleksi kita
tentang soal ini.
Apakah akan
kuberitahukan kepadamu
Kepada siapa
setan-setan itu turun?
Mereka turun
kepada tiap-tiap pendusta
lagi pendosa
Mereka hadapkan
pendengaran
(kepada
setan-setan itu)
Dan kebanyakan
mereka adalah pendusta
Dan para
penyair itu
diikuti orang-orang
sesat
Tidakkah kamu
lihat
Mereka
mengembara di lembah-lembah
Dan suka
mengatakan
Apa yang mereka
sendiri tak kerjakan
Kecuali
penyair-penyair yang beriman
Dan beramal
saleh
yang banyak
menyebut Allah…
(Al Quran, Para
Penyair: 221-227).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar..!