(Demokrasi, satu
langkah menuju masyarakat dengan hukum barbarisme)
A.
Pendahuluan
Menurut Socrates, sesuai dengan hakikat manusia bahwa hukum merupakan
tatanan kebajikan dan keadilan bagi umum. Hukum bukanlah aturan yang dibuat
untuk melanggengkan nafsu untuk kuat, bukan pula aturan untuk memenuhi naluri
hedonisme diri. Hukum sejatinya, adalah tatanan obyektif untuk mencapai
kebajikan dan keadilan umum tadi.
Olehnya itu, hukum
itu dibangun, bukan untuk kepentingan oknum tertentu saja sebagaimana yang
dimaksud oleh Socrates tesebut diatas. Tetapi hukum itu dibangun untuk memenuhi
kebutuhan seluruh tatanan masyarakat terutama dalam hal melindungi setiap
individu dalam masyarakat guna mencapai kesejahteraanya.
Hukum klasik merupakan
suatu konsep hukum yang bersumber dari agama, alam dan adat kebiasaan dari
suatu masyarakat yang telah ada dan berlaku sejak dimulainya suatu kehiduapan
masyarakat sampai sekarang. Prinsip dari teori ini mangatakan bahwa hukum
merupakan seperangkat norma moral dan norma sosial yang berfungsi sebagai
pengarah, sebagai kontrol dan merupakan ukuran terhadap perilaku manusi yang
orientasinya adalah keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Hal serupa juga
yang menjadi pijakan para pendiri bangsa Indonesia untuk merumuskan sebuah konsep hukum yang
nantinya dapat mengakomodir segela kepentingan masyarakat. Para pendiri bangsa
menyadari bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari berbagai macam
suku, adat, kebiasaan, dan kebudayaan yang masing-masing memiliki ciri khas
tersendiri. Olehnya itu pendiri bangsa ini berpandangan bahwa meskipun
Indonesia merupakan Negara yang majemuk tetapi merupakan satu kesatuan yang
utus dan menghargai perbedaan sebagai aset bangsa yang paling berharga.
Pancasila
kemudia di jadikan sebagai solusi untuk memperkokoh perbedaan itu, dan pancasila
kemudia dijadikan sebagai fondasi dan falsafah bangsa yang terintegrasi dan
dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan berbangsa dan berneggara. Atas dasar
itulah kemudian pancasila tidak hanya menjadi dasar suatu bangsa, tetapi juga
dijadikan sebagai filosofi masyarakat Indonesia dalam bertingkah laku.
Pada era
kemerdekaan pancasila ditanamkan sedinih mungkin guna menjadikan masyarakat
Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang menganggap sama
seluruh masyarakat Indonesia dan pemerintahaan dijalankan semata-mata untuk
hajat hidup masyarakat Indonesia. Musyawarah dijadikan sebagai media untuk
mengambil keputusan sehingga kemanusiaan yang adil dan beradap benar-benar di
posisikan sebagai patokan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Namun kemudian,
pada masa kekinian (era demokrasi) pancasila itu hanya dijadikan sebagai dasar
Negara yang tidak di implementasikan dalam proses pembentukan hukum bahkan penanaman nilai-nilai pancasila pun
tidak pernah dilakukan oleh pomerintah, guna meningkatkan rasa kepedualian dan
kesadaran akan cintah tanah air Indonesia dalam suatu wawasan nusantar.
Dewasa ini,
dalam pembangunanan dan pembentukan hukum terutama melalui pendekatan nilai
Agama, etika dan moralitas yang ada dalam masyarakat tidak lagi dipahami
sebagai satu aspek yang sangat fundamental, yaitu aspek yang terkait dengan
persoalan teologi dan keinginan untuk pembentukan hukum yang dapat dilihat melalui doktrin-doktrin
dan peribadatan, tapi lebih dari itu persoalan nilai-nilai tersebut seharusnya
dapat didialogkan dengan persoalan
pengembangan keilmuan, sosial, budaya, ekonomi, dan hukum.
Sehingga tidak
menjadi asing, dalam proses pembentukan hukum masa kekinian hanya berorientasi
pada realitas dan mengikuti perkembangan masyarakata, dalam artian bahwa
pembentukan hukum itu sendiri di sesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan
yang terjadi dalam masyarakat dengan tanpa berpikir sejauhmana kebutuhan
masyarakat akan hukum itu sendiri. Bahkan dengan tidak memikirkan dampak dari
pemberlakuan hukum itu sendiri dalam masyarakat, sebab hukum di bentuk untuk
meligitimasi kehendak dari kelompok-kelompok tertentu (pihak pemerintah),
olehnya itu hukum dibentuk hanya berdasarkan kesepakatan-kesepakatan sepihak
yang diambil oleh mereka yang tergabung dalam lingkaran penguasa itu sendiri.
Aris toteles
mengatakan bahwa hukum merupakan pembadanan dari akal dan terbebas dari nafsu,
sehingga secara tidak langsung dapat kita katakana bahwa hukum merupakan suatu
bentuk tatanan perdamaian yang dilandaskan pada keadilan yang memerintahkan
orang untuk menahan diri dan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada hakim.
sehingga tanpa hukum pun keadilan dapat diperoleh baik itu keadilan yang
bersifat distributive maupun keadilan yang bersifat korektif.
Pada hakikatnya,
suatu tatanan hukum dibangun dan
dibentuk dengan tujuan untuk mengayomi dan memberikan perlindungan kepada
masyarakat yang sasaran utamanya adalah untuk mencapai kesejahteraan masyarakat
itu sendiri. Namun pada kenyataanya, dewasa ini hukum tidak lagi memberikan
satu efek yang bermanfaat terhadap perkembangan kehidupan masyarakat apalagi
menciptakan keadilan sosial dalam masyarakat.
Pengadilan
sesungguhnya tempat untuk mendistribusikan keadilan sebagai mana mestinya.
Namun kemudian pengadilan bukan untuk mendapatkan keadilan melainkan untuk
melakukan penghukuman kepada masyarakat yang sebenarnya merindukan keadilan itu
sendiri. Pengadilan hanyalah milik bagi mereka yang mempunyai kekuatan
finansial, dan neraka bagi mereka kaum marginal yang tidak sama sekali memiliki
finansial untuk mendapatkan keadilan. Sebab aturan hukum dibentuk untuk
melanggakan kekuasaan dan meraup sebesar-besarnya keuntungan.
Ketidak siapan
Indonesia sebagai bangsa demokrasi sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya
bangsa Indonesia. Disis lain kita mengagumkan kebebasan, tetapi di sisi lainya
tanggung jawab tidak dijadikan sebagai langkah bijak untuk menghadapi besar
kecil dampak dari apa yang kita lakukan.
Sehingga
keadilan itu merupakan hasil kesepakatan dan rekayasa antara aparat penegak hukum
dengan pemilik modal. Olehnya itu, penting kiranya kita untuk menggali sisi
gelap pembentukan hukum dan peradilan di era demokrasi saat ini.
B. Pembahasan
Setiap
orang tidak bisa menilai ikhwal kehidupan hukum suatu bangsa secara terisolasi
dari kaitanya dengan bidang atau sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Hal
itulah kemudian yang dinamakan dengan perubahan social, modernisasi,
industrialisasi, dan lain sebagainya. Perubahan sosial tersebut dapat
menimbulkan pergeseran-pergeseran serta perubahan dalam hubungan sosial yang
ada, sehingga diperlukan usaha untuk mengatasi keadaan tersebut.[1]
Menurut
Sudikno Mertokusumo bahwa manusialah yang berkuasa di dunia ini, sebab yang
mengeksploitasi dan mengoperasikan dunia ini adalah manusia. Karena kekuasaan
itulah maka manusia merupakan pusat atau sentral dari segala kehidupan di dunia
ini. Maka dengan demikian, maka manusia merupakan pelaku atau subjek dan bukan
alat atau objek. Manusia sebagai subjek karena manusia mempunya kepentingan di
dunia ini, mempunyai tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi atau di
laksanakan.[2]
Karena
manusia merupakan subjek, maka atas kekuasaanya itu manusia terkadang lupa akan
posisinya sebagai makhluk yang mempunyai kelemahan dan membutuhkan makhluk lain
untuk menjalankan hidupnya. Kekuasaan yang amat dahsyat yang dimiliki manusia,
ditambah dengan kemampuanya untuk berfikir dan menggunakan, rasa, cipta dan
karsanya sehingga manusia mampu menciptakan budaya, adat, kebiasaan, dan
hukumnya sendiri. Apalagi ditambah dengan rasa ingintahunya yang tinggi
sehingga mengantarkan manusia kearah modernisme.
Manusia
yang modernisme ini kemudia membuat suatu gebrakan baru dalam bidang ekonomi,
social, politik dan hukum. Tetapi langkah-langkah yang diambil tersebut tak
selalu mulus, bahkan menimbulkan turbelensi atau kekacauan dalam segala bidang,
sehingga tak jarang, gebrakan yang dilakukan oleh manusia menimbulkan petaka
bagi manusia itu sendiri.
Namun
demikian, meskipun manusia mempunyai kemampuan untuk berfikir dan menggunakan
rasa, cipta, dan karsanya untuk kebiasaan, dan budaya hukumnya sendiri, jauh
sebelumnya tuhan sudah mewariskan kepada manusia bagaimana bertingkah laku
dalam kehidupan sehari-hari. ini kemudian yang disebut dengan hukum klasik.
Hukum
klasik adalah suatu konsep hukum yang bersumber dari agama, alam dan adat
kebiasaan dari suatu masyarakat yang telah ada dan berlaku sejak dimulainya
suatu kehiduapan masyarakat sampai sekarang. Prinsip dari teori ini mangatakan
bahwa hukum merupakan seperangkat norma moral dan norma sosial yang berfungsi
sebagai pengarah, sebagai kontrol dan merupakan ukuran terhadap perilaku manusi
yang orientasinya adalah keselamatan hidup baik di dunia maupun di akhirat.
Namun
kemudia kedudukan hukum kalasik ini menjadi tergeserkan karena tuntutan
modernisasi dan demokrasi. Mereka yang kemudian menyanjung dan mengagung
agungkan demokrasi tersebut, kemudian menjadi momok menakutkan bagi masyarakat
Indonesia, sebab dengan demokrasi dan kebebasan yang tidak terbatas itu
menjadikan perpecahan dan minciptakan system huru hara bagi masyarakat
Indonesia.
Olehnya
itu, agar perimbangan penguasa-masyarakat dapat mencapai suatu derajat
kelanggengan tertentu, maka harus yang harus dibentuk adalah suatu sinergitas
antara penguasa dan masyarakat yang mengasumsikan adanya suatu minimum
kepentingan bersama. Maka apabila hal tersebut tidak ada akibat dari suatu
dominasi yang dilakukan oleh pemerintah, maka pilihanya ada dua yaitu sebagai
berikut:[3]
a.
Sikap acuh tak acuh secara timbale balik
sebagai pilihan terbaik; atau
b.
Keadaan
kacau-balau sebagai akibat upaya saling memusnahkan sebagai hasil yang paling
buruk.
1.
Peradilan milik
mereka yang istimewa dan neraka untuk kaum marginal
Pengadilan dipercaya
adalah tempat terakhir untuk mencari dan mendapatkan keadilan. Namun kemudian
semua itu kini sangat sukar untuk di percayai sebab faktanya keadilan hanya
merupakan kesepakatan antara penguasa dan pemilik modal. Ketidak berpihakan
keadilan pada kaum marginal (miskin) sangat nyata dalam proses peradilan di
bangsa ini, berbanding terbalik dengan mereka yang mempunyai kekuatan finansial.
Mereka yang
mempunyai kekuatan finansial mendapatkan posisi yang istimewa dalam proses
persidangan di pengadilan. Bahkan tak jarang mereka bebas atas dakwaan yang
sebenarnya dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum. Contoh konkrit terjadinya
diskriminasi dalam proses persidangan diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Kasus
yang menimpa masyarakat miskin
1.
Pengadilan
Negeri Sinjai menjatuhkan vonis 2 bulan 25 hari terhadap Rawi, kakek berusia 66
tahun yang menjadi terdakwa dalam kasus pencurian 50 gram merica. Keputusan itu
dibacakan Ketua Majelis Hakim Raden Nurhayati, Kamis, 9 Februari 2012, di ruang
utama PN Sinjai Sulawesi Selatan.[4]
2.
Nenek
bernama Minah (55 tahun) dijatuhi pidana 1 bulan 15 hari karena mencuri 3 buah
cacao senilai Rp. 2.100 di pengadilan Negeri Purwokerto.[5]
3.
Basar
dan Kolil, warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri. Diancam pidana
lima tahun karena mencuri sebuah semangka.[6]
4.
Herlina Koibur yang mengaku bersalah
telah menerima tips Rp 3 juta dari pembuatan speedboat di Kabupaten Supiori,
Papua. Namun sebagai PNS pemda itu dihukum 4 tahun penjara dan denda Rp 200
juta atas perbuatannya tersebut.[7]
b.
Kasus
yang melibatkan penguasa dan konglomerat.
1.
Korupsi pengadaan di kementerian
ESDM, senilai Rp.131 miliar terdakwa
dituntut 2 tahun penjara.[8]
2.
kasus Mindo Rosalina Manullang yang
dibui 2,5 tahun karena kasus korupsi lebih dari Rp. 9 miliar .[9]
3.
kasus mantan Menteri Dalam Negeri
(Mendagri), Hari Sabarno, dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran
(Damkar) tahun 2003-2004 sebesar Rp 97,026 miliar yang juga dihukum 2,5 tahun.[10]
Dari
kedua bahagian kasus diatas membuktikan bahwa proses untuk mendapatkan keadilan
melalui pengadilan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mempunyai
kekuatan finansial, atau bagi mereka
yang mempunyai kedudukan penting dalam pemerintahan. Olehnya itu, sebuah
kemustahilan bagi kaum marginal (miskin) untuk mendapatkan keadilan melalui
pengadilan.
Diskursus
pengenai penjatuhan pidana yang tidak seimbang ini kemudian memicu terjadinya
diskriminasi dibidang hukum dan keadilan khususnya bagi kaum marginal (miskin).
Bila kita melihat konstitusi kita yakni UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA Tahun 1945 khususnya pada pasal 27:
“Segala warga
Negara bersamaan kedudukanya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Maka
jelas bahwa berdasarkan ketentuan UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Tahun 1945 tersebut mengatakan bahwa setiap warga Negara itu bersamaan
kedudukanya dalam hukum dan berhak atas perlakuan yang sama di depan hukum
(pengadilan). Namun kenyataanya pesal ini kemudian hanya dijadikan sebagai
kamus kecil dan dipendamkan diantara baying-bayang fantasi kehidupan duniawi.
Terkait
dengan diskriminasi dalam proses penegakan hukum ini matan ketua Mahkamah
konstitusi Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa Hukum hanya seonggok kertas yang
diketik rapi, tetapi isinya bukan nilai-nilai keadilan, yang hanya berisi
peraturan saja. Beliau menyebutkan bahwa hukum di Indonesia belum dijadikan
sebagai panglima dan dalam praktik kesehariannnya, belum mencerminkan keadilan
bagi masyarakat.[11]
Olehnya
itu, dapatlah dikatakan bahwa pengadilan hanya menyediakan tempat VIP bagi
mereka yang mempunyai kekuatan finansial dan kedudukan penting dalam pemerintahan
dan kekuasaan, dan neraka bagi mereka kaum marginal (miskin).
2.
Demokrasi
mengantarkan bangsa kearah hukum barbarisme
Istilah
“demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM.[12]
Secara
etimologis Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani. “demos” berarti rakyat dan “kratos/kratein”
berarti kekuasaan. Konsep dasar demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people).
Demokrasi
adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara
sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara
untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut.[13]
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada
dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga
jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Indonesia
mengartikan bahwa demokrasi itu adalah pemerintahan atau kekuasaan dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi
masyarakat yang menggunakannya, sebab dengan demokrasi hak masyarakat untuk menentukan
sendiri jalannya organisasi dijamin oleh Undang-undang. Sebagaimana dalam
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Tahun 1945 Pasal 28E ayat (3) “setiap orang berhak atas kebebesan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Konsep
Negara demokrasi merupakan dambaan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk
berperan secara aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, transparan,
akuntabel, dan bertanggungjawab demi terciptanya cita-cita bangsa yakni
tercapainya kehidupan sejahtera, aman dan tentram. Demokrasi mensyaratkan bahwa
kebebasan yang dimaksud didalamnya harus dilakukan sebaik-baiknya untuk
membangun ekonomi dan ketahanan bangsa, sehingga mampu berdiri tegak sejajar
dengan bangsa-bangsa lain di seluruh belahan dunia.
Namun
kemudian terjadi pergeseran pemahaman sebagai akibat ketidak mampuan pemerintah
untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana konsep kebebasan
yang dimaksud dalam Undang-Undang itu sendiri. Ini kemudian membuka kesempatan
oknum-oknum tertentu untuk memprofokasi dan mempropaganda masyarakat bahwa
demokrasi itu membuka kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
berbuat dan bertingkah langku yang sebenarnya sangat bertentangan dengan konsep
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di letakan dalam dasar falsafah bangsa
yang dinamai Pancasila.
Maknah
bahwa pemerintahan itu dijalankan berdasarkan prinsip dari rakyat oleh rakyat
dan untuk rakyat, namun kenyataanya itu hanya sebagai suatu sihir untuk
menghipnotis masyarakat Indonesia. Sebab hal pemerintahan yang dilakukan saat
ini, sangat bertentangan dengan konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.
Kegagalan
pemerintah dalam menanamkan konsep demokrasi yang baik dan benar, diperparah
dengan disintegrasi dan diskriminasi besar-besaran bagi kaum marginal (miskin)
khususnya dalam bidang ekonomi dan hukum. Sehingga terjadi jarak yang jauh
antara penguasa, pemilik modal dan masyarakat ekonomi kelas bawah berdasarkan
kelas-kelas sosial yang ada.
Dibidang
ekonomi, masyarakat marginal (miskin) tidak diberikan ruang dan tidak
mendapatkan tempat untuk mendapatkan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan di bidang hukum kaum marginal (miskin) pengadilan hanya
menyediakan ruang VIP bagi pemilik modal, dan penguasa yang memiliki peran
penting dalam pemerintahan, sementara kaum marginal (miskin) pengadilan adalah
neraka buat mereka sebab pengadilan buat mereka bukan tempat untuk mencari
keadilan melainkan tempat untuk penghukuman bagi kamu margina (miskin)
tersebut.
Kekeliruan
dalam menafsirkan makna yang terkandung dalam asas demokrasi tersebut membuka
ruang sebesar-besarnya terjadinya gejolak sosial yang terjadi dalam masyarakat,
sehingga tak heran sepanjang tahun 2012 ini, “tawuran” menjadi sajian hangat
pemberitaan di media massa, bahkan tindakan main hakim sendiri dan penganiayaan
menjadi legal dan dibenarkan di Negara ini. Beberapa kejadian yang tidak
mencerminkan bahwa Indonesia sebagai Negara hukum dan melukai rasa kemanusian
diantaranya adalah:
1.
Penyerangan
terhadap pengikut ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten yang mengakibatkan 3
orang meninggal duani pada bulan Februari Tahun 2011.
2.
Kasus
Mesuji Sumatra Selatan yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia di bulan
April tahun 2011. Karena sengketa lahan antara masyarakat dan pemilik modal
(pengusaha).
3.
Masalah
geng motor dan tawuran antara kampung, kelompok, dan suku sepanjang tahun 2012.
4.
Tawuran
antara sesama mahasiswa Universitas Negeri Makassar yang mengakibatkan 3 orang
meninggal dunia dibulan Oktober 2012. Dan sejumlah tawuran dikalangan pelajar
diseluruh Indonesia sepanjang tahun 2012.
Dari keempat
kasus tersebut hanyalah sebagian kecil dari segudang masalah yang menimpa
Negara ini. Seakan menunjukan bahwa kita bukanlah sebagai Negara hukum
melainkan Negara dengan paham barbarisme[14]
yang selalu mengutamakan penyelesaian masalah dengan jalan konflik, untuk
mempertontonkan kekuasaan, kekuatan dan kekerasan.
Olehnya itu,
reformasi dibidang hukum dan pemerintah menjadi penting serta penanaman konsep
Negara demokrasi pada masyarakat sangat diperlukan. Karena apabila kurangnya
pemahaman akan konsep Negara domkrasi, ditambah dengan ketimpangan dan
diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat baik dalam bidang ekonomi, politik,
social, dan hukum, maka sebenarnya Negara demokrasi yang kita agung-agungkan
ini telah mengarahkan masyarakat Indonesia satu langkah menuju Negara dengan
sistem barbarisme.
C. Pancasila dan masyarakat Indonesia.
Dengan
ketimpangan dan diskriminasi besar-besaran yang terjadi dalam masyarakat saat
ini, maka hendaknya pancasil sebagai alat perekat dan pemersatu bangsa harus
difungsikan kembali dan menjadi landasan filosofi dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Tentu kita tetap mengakomodir demokrasi dalam system
pemerintahan kita, tetapi demokrasi tersebut harus di sesuaikan dengan kaidah,
norma, adat, budaya, dan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Maka dari
itu demokrasi pancasila merupakan pintu keluar dari Negara yang mempunyai
karakter dan system hukum barbarisme tersebut.
Untuk
itu demokrasi pancasila harus benar-benar dijalankan dan diimplementasikan
dalam segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan
demokrasi pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia dan harus ditanamkan
sedini mungkin adalah: sebagai mana yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Pasal 1 yakni sebagai berikut:
1.
Negara
Indonesia adalah Negara Kesatauan, yang berbentuk Republik.
2.
Kedaulatan
berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.
3.
Negara
Indonesia adalah Negara hukum.
Dari
ketiga pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka
ciri dan tujuan dari demokrasi pancasila yang harus dijalankan adalah sebagai
berikut:
a.
Kedaulatan
ada di tangan rakyat
b.
Selalu
berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong
c.
Cara
pengambilan keputusan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat
d.
Tidak
kenal adanya partai pemerintahan dan partai oposisi
e.
Diakui
adanya keselarasan antara hak dan kewajiban
f.
Menghargai
hak asasi manusia
g.
Ketidaksetujuan
terhadap kebijaksanaan pemerintah dinyatakan dan disalurkan melalui wakil-wakil
rakyat. Tidak menghendaki adanya demonstrasi dan pemogokan karena merugikan
semua pihak
h.
Tidak
menganut sistem monopartai
i.
Pemilu
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia.
j.
Mengandung
sistem mengambang
k.
Tidak
kenal adanya diktator mayoritas dan tirani minoritas
l.
Mendahulukan
kepentingan rakyat atau kepentingan umum.
Untuk mewujudkan
hal tersebut diatas, maka fungsi pemerintahan yang harus dijalankan berdasarkan
demokrasi pancasila adalah:
a.
Menjamin adanya keikutsertaan rakyat dalam kehidupan
bernegara
b.
Menjamin tetap tegaknya negara Republik Indonesia
c.
Menjamin tetap tegaknya negara kesatuan Republik Iindonesia
yang mempergunakan sistem konstitusional
d.
Menjamin tetap tegaknya hukum yang bersumber pada
Pancasila
e.
Menjamin adanya hubungan yang selaras, serasi dan seimbang
antara lembaga negara
f.
Menjamin adanya pemerintahan yang transparan,
akuntabel, dan bertanggung jawab.
Olehnya itu
pancasila menjadi penting sebagai landasan filosofi masyarakat Indonesia dalam
kehidupan, berbangsa dan bernegara, dan itu merupakan tugas dan tanggung jawab
pemerintah untuk mewujudkanya sebelum bangsa ini berdamping dengan demokrasi
yang menjurus ke system hukum barbarisme.
D.
Kesimpulan
Masalah
yang paling mendasar pada era demokrasi saat ini adalah diskriminasi sosial
yang terjadi dalam masyarakat, sebagai lemahnya sistim hukum dan rapuhyna aparat
penegak hukum itu sendiri, serta kekaburan pemahaman mengenai system demokrasi
dengan kebebasan yang tidak terukur menjadikan Negara kita kearah system hukum
barbarisme.
Olehnya
itu, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila harus di implementasi dalam
kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dan makna dari demokrasi dan
kebebasan itu harus sesuai dengan landasan filosofi bangsa yakni pancasila.
Sehingga demokrasi yang harus di jalankan oleh pemerintah adalah demokrasi
dengan sistem nilai pancasila, sehingga setiap masyarakat Indonesia dapat
memahami konsep cinta tanah air yang berwawasan nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar..!