Pages

15 Jul 2010

Imajinasi, Sastra, dan Spiritualitas Islam


Haidar Bagir

Kata-kata ini adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia
~ Sultan Walad, putra Jalaluddin Rumi


LALU, inilah penjelasan saya, sebisa-bisanya. (Disclaimer: tulisan ini dibuat terutama dari sudut pandang pemikiran Islam dan bukan sastra, yang memang sama sekali bukan merupakan bidang kajian Penulis. Oleh karena itu, hendaknya ia juga dilihat dan ditempatkan dalam posisi itu: sebuah pembahasan tentang sastra dan imajinasi, terutama dari sudut pandang pemikiran Islam. Hanya dengan cara itu, dan bukan dengan melihatnya lewat kacamata kritis sastra, tulisan ini bisa diharapkan memberikan sedikit sumbangan kepada wacana mengenai sastra dan spiritualitas Islam). 

ALAM IMAJINAL

Dalam khazanah spiritualitas Islam (sufisme, irfan, isyraqiyah, atau hikmah), biasanya diterima adanya tiga tingkat pemikiran manusia. Tingkat rasional, logis, itulah yang pertama. Adapun yang kedua adalah yang bersifat spiritual, rohaniah. Yang ini terkait dengan perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Dan, di antara keduanya ada imajinasi.

Yang bersifat rasional-logis biasanya disampaikan lewat bahasa yang mengandalkan pada tata bahasa (grammar) yang teratur dan urut-urutan logis. Yang spiritual, kata sebagian orang-termasuk Al-Ghazali, seorang sufi besar dalam sejarah Islam-tak bisa diungkapkan secara rasional. Tetapi, beberapa sufi tertentu mencoba mengungkapkannya. Termasuk di dalamnya yang amat terkenal dan produktif dalam mengungkapkan perasaan-perasaan keagamaannya adalah Ibn ’Arabi.

Sekelompok filosof-mereka biasa disebut sebagai para iluminis (isyraqi) dan ahli hikmah, dengan Suhrawardi dan Mulla Shadra sebagai tokoh-tokohnya-justru percaya bahwa perasaan- perasaan keagamaan sebagai sumber kebenaran bukan hanya bisa, melainkan harus diungkapkan dengan bahasa-bahasa rasional yang logis itu, yakni agar perasaan-perasaan yang telah melewati-tepatnya dilewatkan kepada-rasio dan logika itu bisa dikontrol: apakah ia benar-benar berdasar pada realitas, ataukah sekadar khayalan yang tidak benar, tidak obyektif, bahkan mungkin sesat. Dengan diungkapkan secara rasional dan logis, perasaan-perasaan itu bisa diverifikasi. Mengingat, pertama, verifikasi hanya bisa dilakukan-selain berdasar prinsip korespondensi (eksperimental)-dengan berdasar prinsip koherensi (rasional-logis). 

Kedua, sebuah pemikiran, yang diperoleh pada tingkatan apa pun, tak boleh bertentangan dengan perolehan lewat tingkatan-tingkatan pemikiran yang lainnya, baik yang bersifat imajinatif maupun rasional-logis. Ketiga, dengan memverifikasinya secara rasional-logis, maka sebuah hasil pemikiran telah dilempar ke “pasar bebas” dan dengan demikian bisa didiskusikan, diperdebatkan, dan disepakati nilainya.

Kembali kepada pemikiran imajinatif, wadah bagi realitas-realitas jenis ini disebut sebagai alam imitasi (’alam al-mitsal), tempat bagi simbol dan tipifikasi. Ia disebut juga alam barzakh-biasa diterjemahkan sebagai alam imajinal untuk membedakannya dari alam imajiner yang sudah telanjur berkonotasi negatif. Ya, alam barzakh. Suatu alam di antara dua alam: alam rohani dan alam dunia. Dia menyatakan alam kubur, alam imajinal, dan alam mimpi. Menurut pemikiran seperti ini, sesungguhnya ketiga-tiga alam itu menunjukkan realitas yang sama.

Secara agak filosofis, inilah deskripsi ketiga tingkatan itu: Alam Dunia bersifat wadak (memiliki dimensi ruang-waktu) dan memiliki sifat keterbagian secara aritmatis. Dengan demikian, segala entitas di alam ini bisa disifati sebagai memiliki kebergandaan, 1, 2, 3, dan seterusnya. Pemikiran rasional-logis terkait dengan alam ini alam barzakh, meskipun masih memiliki sifat keterbagian-aritmatis dan untuk operasinya juga masih membutuhkan wadak dari alam dunia, ia sendiri sudah tak bersifat wadak. Selain itu, alam perantara ini belum sampai ke alam roh, tetapi sudah meninggalkan alam dunia empiris-rasional. Seperti diungkapkan filosof eksistensialis Perancis yang ahli aliran wujudiyah dan iluminisme dalam Islam, Henry Corbin, alam barzakh atau alam imitasi ini adalah alam wadak yang terspiritualisasikan, atau bisa juga ia dikatakan alam roh (spirit) yang terwadakkan. Adapun alam rohani tak berwadak, tak terbagi-bagi (simple atau basith).

Karena sifatnya yang sudah tak lagi mewadak, maka bukan saja kategori rasional-logis sudah tak sepenuhnya berlaku, gambaran-gambaran yang dipakainya pun tak harus sama dan sebanding dengan citra-citra (bendawi) alam dunia. Inilah yang menyebabkannya disebut khayalan. Metafor-metafor pun menjadi dominan di sini. Maka, jadilah ekspresi pemikiran imajinatif-sebagaimana tertuang dalam seni, termasuk sastra-tampak tak beraturan, tak runtut, dan menabrak kategori-kategori ruang dan waktu yang lazim dalam pemikiran rasional.

Orang-orang yang daya imajinasinya kuat, seperti para seniman (termasuk para pemikir tertentu, para spiritualis) bisa mengoperasikan daya khayalnya dalam keadaan jaga. Sedangkan yang daya imajinasinya tak terlalu kuat, mengalami dunia barzakh ini hanya ketika bermimpi-yang bukan sekadar bunga tidur, atau perasaan tertekan, atau sekadar luapan pengalaman dunia nyata-atau nanti di alam kubur. (Ibn ’Arabi, seorang hakim-teosof, kombinasi filosof dan sufi-menyatakan, kehidupan kita di alam kubur nanti adalah seperti di alam mimpi. Disiksa kubur adalah sama dengan mendapat mimpi buruk, nightmare. Dan sebaliknya.

DAYA IMAJINASI

Apa itu daya imajinasi? Dalam khazanah filsafat Islam-peripatetik, yang mengandalkan prosedur rasional-logis di atas yang lainnya-daya imajinasi dipahami sebagai salah satu fakultas dalam jiwa manusia yang memiliki akses kepada alam imajinal. Ia adalah bagian dari indera dalam manusia yang, berbeda dengan pandangan spiritualitas Islam, ditempatkan di bawah pemikiran rasional.
Bukan hanya dalam hal hierarki, para filosof Muslim percaya bahwa daya imajinasi harus ditempatkan di bawah kendali daya rasional. Jika dilepaskan dari daya rasional, daya imajinasi berisiko kehilangan kendali dan sekaligus kehilangan akses kepada realitas otentik yang ada di alam imajinal.

Ya, karena dalam Islam, tak terkecuali dalam filsafat Islam, puisi-atau karya sastra pada umumnya-yang banyak mengandalkan daya ini, memiliki misi etis. Apalagi karena sifatnya yang imajinatif, puisi-atau karya sastra dan seni pada umumnya-memiliki kemampuan menggerakkan lebih banyak orang ketimbang kebenaran rasional yang umumnya memiliki appeal hanya kepada lebih sedikit orang. Maka, sifat etisnya harus bisa dijamin. Jika tidak, risikonya untuk menimbulkan kerugian menjadi lebih besar.

Dalam filsafat Islam, daya rasional mencakup dua ranah, yang berhubungan satu sama lain. Ranah teoretis dan ranah etis. Ranah teoretis melihat ke atas untuk mencerap natur-natur, kuiditas-kuiditas (”keapaan-keapaan”), atau esensi-esensi segala sesuatu, yakni aspek-aspek universal alam semesta, yang simpel dan kekal. Ranah daya rasional praktis, sebaliknya, melihat ke bawah demi memampukan pemiliknya untuk mengelola urusan-urusan duniawi secara etis.

Betapapun, daya rasional praktis bekerja berdasarkan gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang dicerap oleh daya rasional teoretis, apakah itu gagasan tentang keadilan, keseimbangan, moderasi, kebaikan, kebenaran, dan sebagainya. Pada gilirannya, daya rasional teoretis, yang juga beroperasi berdasar pengalaman dan kebiasaan, bekerja berdasar daya rasional etis. Ya, ilham puitik-menurut para filosof ini-mesti dikendalikan oleh daya rasio, tetapi pada saat yang sama ia juga mesti dipandu oleh misi etis.

Meskipun demikian, hal ini tak berarti bahwa sifat sastrawi atau puitik dari sebuah karya boleh diperkosa karena misi etis ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Sina dan Ibn Rushd, misi etis ini harus dipandang sebagai lebih merupakan akibat ketimbang unsur esensialnya.
Pernyataan terakhir ini kiranya mendekatkan posisi filsafat Islam dengan sufisme. Mengingat bahwa sufisme justru cenderung melihat bahasa (yang terstruktur secara logis) cenderung lumpuh ketika berhadapan dengan kedahsyatan-kedahsyatan pengalaman keagamaan.

Seperti akan kita dapati dalam pembahasan setelah ini, umumnya kaum Sufi percaya bahwa ilham-ilham mistikal mereka-demikian pula puisi-puisi mereka, yang sesungguhnya tak lebih dari wadah bagi pengalaman-pengalaman mistikal itu-berasal dari dunia yang lebih tinggi, alam rohani.
Maka, membiarkan pemikiran rasional-logis menghakimi pemikiran rohaniah yang lebih tinggi tingkatannya adalah sesuatu yang tak bisa diterima. Adalah isyraqiyah dan hikmah yang, seperti telah disinggung di atas, kemudian menyintesiskannya dengan memberikan wewenang kepada daya rasional-logis untuk memverikasi pengalaman-pengalaman keagamaan ini.

Kenyataannya, seniman bekerja berdasarkan pasokan bahan dari dunia imajinasi ini. Nah, dipercayai bahwa ilham yang dibiarkan begitu saja tanpa di-”kontrol” oleh pemikiran rasional-atau perasaan-perasaan spiritual-inilah yang dapat mengambil bentuk ungkapan yang aneh-aneh dan sering tidak nyambung dengan pemikiran rasional.

Hampir-hampir seperti meracau alias ngomyang-bisa mengandung realitas (kebenaran), bisa juga benar-benar ngomyang, dalam arti merupakan penyelewengan dalam mekanisme beroperasinya pemikiran. (Dalam khazanah pemikiran Islam, dipercayai bahwa sumber ilham yang benar adalah dari malaikat, sedangkan yang tak otentik-secara populer disebut waham-adalah “setan” atau suatu dunia khayalan yang terbentuk karena penyelewengan dalam operasi berpikir/berkhayal. Sebab, seperti disebutkan oleh Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, adalah terutama dalam keadaan tidur imajinasi terbebaskan dari pembatasan-pembatasan oleh daya rasional.

Dalam keadaan jaga, penyakit, rasa takut, kegilaan, dan sebagainya juga dapat membebaskan daya khayal dari pembatasan-pembatasan oleh daya rasional. Sebelum ada yang terkejut, perlu saya sampaikan bahwa agama mengajarkan: siapa saja di antara kita, kapan saja-dan itu berarti bukan hanya penyair, dan tak mesti berhubungan dengan persoalan pencarian kebenaran seperti ini-selalu berisiko berada dalam pengaruh setan ini.

Bisa jadi juga, ketaklogisan-yang terkadang bisa amat liar dan jauh lebih susah dipahami-adalah karena wadah orang yang menerima ilham itu tak cukup besar untuk menampungnya. Dengan demikian, ilham itu meluap-luap ke sana kemari tanpa terkontrol. Dalam sufisme, yang akan kita bahas lebih jauh setelah ini, hal ini mengambil bentuk syathahat atau ujaran-ujaran ekskatik, yang muncul tiba-tiba dalam keadaan subyeknya mengalami ekstasi atau trance secara spiritual.

SASTRA DAN DAYA IMAJINASI

Kalau dilihat dari bentuknya, puisi jelas merupakan bentuk yang lebih polos ketimbang prosa karena puisi lebih bersahaja dan apa adanya dalam mengungkapkan ilham kepenyairan, melalui kalimat lebih pendek-pendek yang efisien, dan lebih tak merasa perlu untuk melakukan penjelasan logis sebagaimana prosa. Meskipun demikian, ada juga prosa yang relatif lebih liar. Karya-karya Salman Rushdie adalah contoh yang baik mengenai bentuk ini.

Memang, bagi yang tidak percaya pada karya imajinatif yang terus terang dan apa adanya, atau yang percaya bahwa imajinasi cenderung menghasilkan penyelewengan pemikiran, bisa juga daya khayal disalurkan kepada karya-karya seni yang sober (”waras”, tidak “mabuk”). Dalam arti, sejalan dengan pakem-pakem rasional, mungkin juga filosofis dan religius, sebagaimana diajarkan oleh tradisi agama (kitab suci, sabda nabi, dan orang suci yang reliable, dan sebagainya).

Meski mungkin dipercayai bahwa nilai seninya bisa berkurang-bahkan juga boleh jadi kandungan keotentikannya tereduksi-hasilnya bisa lebih terkendali, lebih terpahamkan oleh orang banyak, dan kemungkinan penyelewengannya lebih kecil. Inilah sikap yang, saya kira, diambil oleh umumnya para seniman klasik, atau seniman religius, atau bahkan seniman modern tertentu yang memujikan sobriety.

Kisah-hidup Sutarji sebagai penyair-sesungguhnya juga beberapa penyair Indonesia lainnya-saya kira bisa menjadi ilustrasi yang menarik. Pernah ada masa ketika ia dikenal sebagai “penyair bir.” Inilah barangkali fase dalam hidupnya ketika dia mengandalkan pada daya khayal apa adanya. Dan memang, mood inducing drugs or substance tertentu-obat bius, LSD (dulu), anggur, termasuk bir-dipercayai bisa membantu orang untuk “naik” ke alam imajinal ini.

Sebagian filosof dan penyair masa lampau konon juga mengandalkan sebatas-terkendali penggunaan mood inducing substance ini, seperti Ibn Sina. Ibn Sina memang juga dikenal dengan karya-karya puitik serta prosa liris yang, oleh Henry Corbin, disebut sebagai resital-resital visioner. Mungkin juga penyair-penyair tertentu, seperti Omar Khayam yang didakwa bukan hanya sekadar menggunakan ungkapan-ungkapan “anggur” sebagai simbolisme, melainkan benar-benar minum anggur.

Hal ini barangkali juga terkait erat dengan pandangan sebagian filosof tersebut di atas yang mengaitkan pelepasan daya khayal dari berbagai pembatasan-pembatasan yang mengikatnya dalam keadaan rileks (flow state), seperti dalam tidur atau dalam keadaan-keadaan ekstrem tertentu seperti disebut sebelumnya.

Keadaan “naik” (fly, yang tak mesti sampai ke tingkat benar-benar mabuk) barangkali juga dipercayai sebagai termasuk salah satu di antaranya. (Perlu sambil lalu saya sampaikan di sini pendapat yang menyatakan bahwa sesungguhnya, para pemikir dan penyair yang memang menggunakan sejenis mood inducing substances, memang berpendapat bahwa sejenis minuman tertentu seperti ini memang diperbolehkan oleh agama. Dalam tradisi awal Islam, diriwayatkan bahwa sebagian kaum Muslim biasa meminum setakar nabidz-kurma fermentasi, dicampur air-meski dalam jumlah banyak minuman ini bisa memabukkan. Wallahualam. Mazhab Hanafi, yang banyak dianut antara lain di Turki, kabarnya termasuk yang menoleransinya).

Belakangan, kembali pada Sutarji, tampaknya dia lebih memilih untuk “mengendalikan” ilham-ilhamnya dengan perasaan religius, kalau malah bukan dengan daya rasionalnya. Atau, barangkali, ia hanya merasa bahwa ilham tak mesti dipancingnya dengan kemabukan akibat bir, yang diketahui banyak mudaratnya. Yang pasti, belakangan Sutarji meninggalkan ritual minum untuk kegiatan-kegiatan puitiknya.

SASTRA DAN SUFISME

Dalam sufisme, puisi lebih sering lahir dari kecintaan (’isyq) yang meluap-luap kepada Tuhan. Cinta platonik. Akibatnya, di Turki, puisi-puisi seperti ini disebut kesusastraan ’asyiq (pencinta). Dalam kesusastraan sufi-Arab, cinta platonik seperti ini disebut sebagai cinta ’Udzri. Ia merujuk kepada sebuah suku Arab bernama Banu ’Udzrah di Wadi al-Qura, Hijaz Utara.

Dikisahkan bahwa pada di suatu masa, di tempat itu ada 30 anak muda yang berada di tepi kematian akibat cinta platonik yang tak terpuaskan. Melakukan perzinaan yang dikutuk tak terpikirkan oleh mereka karena dipercayai Islam telah memurnikan jiwa-jiwa mereka. Jadilah ia perlambang ketulusan cinta kepada Sang Ma’syuq (Pencinta), Tuhan. Puisi-puisi yang bermuatan cinta ’Udzri ini menonjol pada 

Rabi’ah al-’Adawiyah, tetapi juga pada ’Aisyah, putra Imam Ja’far al-Shadiq.
Yang terakhir ini barangkali ada hubungannya dengan kenyataan bahwa ungkapan-ungkapan cinta seperti ini banyak datang dari kakeknya, ’Ali bin Abi Thalib, sahabat Nabi Muhammad SAW yang dipercayai sebagai guru banyak sufi awal. Pada penyair sufi laki-laki hal ini termanifestasikan dalam puisi-puisi Ibn ’Arabi, Rumi, Hafiz, Sa’di, Shabistari, Sana’i, Jami’, dan banyak lagi. Yang berikut ini adalah salah satu contoh dari ’Ath-thar.

Termangsa cahaya kehadiran Simurgh
Ku sadar jadinya
Tak lagi tahu apakah aku Kau atau Kau aku
Ku t’lah sirna ke dalam-Mu
Maka pupus jugalah kebergandaan….

Nah, selanjutnya saya duga kita akan terkejut ketika mendapati bahwa di antara puisi religius yang lebih “liar” justru keluar dari seseorang yang dianggap seprofan Ayatullah Khomeini. Inilah sekadar cuplikan ungkapan-ungkapan puitik sang pemimpin besar Revolusi Islam di tanah Persia:

Wahai kudamba hari itu
Saat piala (anggur) pengocok jiwa
Kuterima dari tangan-lembutnya
Dan, dalam lupa dua dunia
Terantai di helai-helai rambutnya
Wahai kudamba hari itu
Saat kepalaku di tapak-kakinya
Ciuminya hingga hidup usai saja
Dan jadilah aku hingga kiamat tiba
Mabuk dari gelasnya.

(Dari Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini, karya Yamani, Mizan, bandung, 2001)
Khomeini, betapa pun enigmatic-nya pribadi ini bagi banyak orang, sesungguhnya hanyalah berada dalam garis tradisi para sufi-penyair Persia pendahulunya. Bahkan, meski juga “murid” dari Shadra, sang filosof hikmah yang tak kurang rasional, ia adalah pengikut mazhab Akbarian (Ibn ’Arabi) yang cukup setia.

Steven Katz, dengan tulisannya yang berjudul Language, Epistemology, and Mysticism (dalam buku yang disuntingnya sendiri, Mysticism and Philosophical Analysis, New York 197 8)boleh saja menyatakan “adanya koneksi kausal yang amat jelas antara yang bersifat keagamaan dan pengalaman atas struktur sosial dan sifat pengalaman-aktualnya”, yang berarti bahwa ungkapan pengalaman keagamaan banyak dibentuk oleh bahasa (yang telah diterima sebagai suatu kesepakatan sosial).

Akan tetapi, hal ini dipersoalkan oleh Carl W Ernst, seorang peneliti sufisme, yang antara lain menulis tentang ujaran-ujaran ekskatik dalam aliran ini. Tanpa membantah kemungkinan adanya pengaruh bahasa seperti ini, ia menyepakati pendapat para sufi sendiri yang menyatakan bahwa sumber-utama bahasa mereka justru bersumber dari pengalaman religius, dan bukan sebaliknya.
Qusyairi, salah seorang penulis buku standar tentang tasawuf, dalam salah satu perbincangannya tentang terminologi sufi menunjukkan bahwa keadaan-keadaan mistikal bukanlah merupakan hasil dari upaya, melainkan barakah (grace) dari Tuhan. “Kata-kata (yang dipakai oleh para sufi) itu,” kata Ruzbihan Baqli, seorang sufi penyusun kamus terminologi sufisme, “mengikat rumus dari khazanah-khazanah kesubtilan-kesubtilan amar Ilahi.” (Di tempat lain Ruzbihan mendefinisikan rumus ini sebagai makna yang tersembunyi di bawah kalam-lahiriah). “(Kata-kata itu bersumber dari) tempat pemberhentian rahasia-rahasia keadaan-keadaan mistikal (ahwal), permakluman amar-amar itu, kerinduan-kerinduan ma’rifat, dan pancaran cahaya penyibakan (kasyf)… yang diungkap dari penyibakan manifestasi kekekalan, kalam yang abadi, tindakan-tindakan unik (ketuhanan), dan realitas-realitas manifestasi sifat-sifat-Nya.

Orang-orang yang telah mereguk “minuman-minuman rohani” dalam kesubtilan yang unik dan memesonakan dari dunia yang tersembunyi, pun menjadi master-master atas keadaan sesaat (waqt) mereka, dan mereka pun mengungkapkan isyarat-isyarat kemanisan melalui kata-kata. Dalam pernyataan Ibn ’Arabi, kata (harf) adalah “ungkapan yang dengannya Tuhan berkomunikasi denganmu.”Dengan kata lain, bukan hanya para sufi seperti menyangkal bahwa ilham datang dari alam imajinal-jika ia dipercayai sebagai berada di bawah tingkat alam rasional, seperti yang dipahami para filosof-mereka boleh jadi tak percaya pada keperluan untuk membatasinya dengan daya rasional.

Satu-satunya pembatasan bagi para sufi muncul oleh keperluan mempertimbangkan konteks pengajaran ilham-ilham itu kepada para murid sufisme yang belum mencapai suatu tingkat yang memampukan mereka untuk mencerap ilham-ilham itu dalam segenap ke-”penuh”-annya. Itu sebabnya para sufi terkadang terpaksa menyederhanakan, di waktu lain menyembunyikan (meng-encrypt), ilham-ilham yang mereka peroleh dari pengalaman-mistikal mereka lewat bahasa-bahasa yang sesuai.

Meskipun demikian, sufisme pun bukannya tidak mengenal latihan-latihan dalam hal perolehan ilham-ilham mistikalnya. Selain untuk memastikan bahwa ilham-ilham itu otentik, sekaligus meningkatkan daya spiritual, boleh jadi juga latihan-latihan ini diperlukan untuk mempersiapkan wadah yang cukup bagi terpaan ilham yang datang agar tidak meluap-luap ke sana kemari dan melahirkan ungkapan-ungkapan ekskatik yang kontroversial.

Dengan cara inilah para sufi menjalankan fungsinya sebagai guru bagi para murid-baru sufisme, yang harus merancang bahan-bahan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Latihan ini mengambil bentuk ketaatan kepada aturan perjalanan spiritual (suluk), termasuk pembagiannya ke dalam stasiun-stasiun (maqamat) dan keadaan-keadaan (ahwal).

PENUTUP

Akhirnya, ingin saya tutup refleksi saya ini dengan menukil beberapa ayat Al Quran-yang seperti disebutkan para peneliti, menempati posisi sentral dalam kesusastraan spiritual ini-tentang para penyair. Meski, sampai batas tertentu, konteksnya khas terhadap masa ayat-ayat ini turun, barangkali nukilan ini bisa melengkapi refleksi kita tentang soal ini.

Apakah akan kuberitahukan kepadamu
Kepada siapa setan-setan itu turun?
Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta
lagi pendosa
Mereka hadapkan pendengaran
(kepada setan-setan itu)
Dan kebanyakan mereka adalah pendusta
Dan para penyair itu
diikuti orang-orang sesat
Tidakkah kamu lihat
Mereka mengembara di lembah-lembah
Dan suka mengatakan
Apa yang mereka sendiri tak kerjakan
Kecuali penyair-penyair yang beriman
Dan beramal saleh
yang banyak menyebut Allah…
(Al Quran, Para Penyair: 221-227).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar..!